Bagaimana dengan kesiapan industri gula di Indonesia…?
Tahun 2013 ternyata masa suram bagi petani tebu dan industri gula di Indonesia. Harga gula dan rendemen yang rendah disebut sebagai penyebabnya. Apalagi kalau tahun 2015 MEA sudah berlaku, maka gula impor dari Thailand akan masuk dengan derasnya ke Indonesia. Harga gula Thailand yang jauh lebih murah akan membuat harga gula nasional akan ikut turun. Maklum harga gula di Thailand hanya Rp 5.000/Kg sedangkan harga gula di Indonesia rata-rata Rp 9.000/Kg.

Harga Patokan Petani (HPP) tahun 2014 untuk gula kristal putih telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 8.250,;/Kg. Harga ini masih dianggap rendah oleh petani tebu. Mereka meminta HPP Rp 9.000/Kg. Wajar saja petani tebu menuntut harga lebih tinggi. Harga gula di pasaran yang rendah memang menguntungkan masyarakat luas , tetapi di sisi lain merugikan petani tebu.
Nasib industri gula menurut saya (yang bukan pengamat dan ahli gula) ditentukan oleh Kebijakan pemerintah, Harga gula dunia, Perdagangan bebas dunia, Pengelolaan PG dan Pengelolaan Tanaman Tebu.
Bagaimana bisa seperti itu…?
Adanya kebijakan pemerintah impor raw sugar untuk industri gula rafinasi memang memudahkan untuk menambal defisit kebutuhan gula nasional. Ternyata gula rafinasi yang hanya diperuntukkan bagi industri bisa merembes ke pasar gula konsumsi.
Harga gula dunia jauh lebih murah dibandingkan dengan harga gula di Indonesia. Hal ini memang menarik bagi para pedagang untuk menaguk keuntungan. Sepertinya lebih banyak untung bermain di gula rafinasi dari pada di gula kristal putih yang di produksi PG di Indonesia.
Perdagangan bebas dunia adalah salah satu konsekuensi logis dari sistem perdagangan liberal. MEA, WTO atau apapun namanya akan membuat semua barang dan jasa dari negara lain akan mudah masuk ke Indonesia. Harga barang dan jasa dari luar negeri yang lebih murah akan menguntungkan konsumen, tetapi bisa bikin produsen jantungan apabila biaya produksinya masih tinggi.
Rendemen di beberapa PG saat ini masih berkisar antara 6-8 %. Hanya beberapa PG yang rendemen bisa mencapai 9%. PG yang efisiensinya rendah tentu berakibat naiknya biaya produksi pengolahan.
Pengelolaan tanaman yang baik akan mendapatkan bobot dan rendemen tebu yang optimal. Memang rendemen ditentukan juga oleh efisiensi mesin PG, tetapi pemilihan varietas dan pengelolaan tanaman tebu juga akan ikut menentukan.
Khusus pengelolaan tebu di PTPN XII, saat ini protas rata-rata tahun 2013 hanya 700 an Kui/Ha. Padahal sasaran protas adalah 1.000 Kui/Ha. Pengamatan saya penyebab rendahnya protas antara lain populasi tanaman yang kurang karena masih tingginya gap (heaten) dan belum efektifnya pemeliharaan tebu selama 4 bulan pertama setelah tanam atau kepras.
Memang kita tidak usah berpikir yang tidak-tidak apalagi hal yang pesimis. Hal yang sudah di depan mata saja yang kita selesaikan dulu. Paling tidak perlu perhatian lebih dari pengelola tebu supaya protas tebu 1.000 Kui/Ha dengan rendemen 9 bisa tercapai.
Tapi tidak salah juga kalau kita sebagai karyawan PTPN XII yang saat ini sedang mengelola tebu skala luas tentu was was juga dengan nasib industri gula di masa depan. Apalagi sampai dengan pertengahan bulan Mei 2014 belum terdengar persetujuan dari sindikasi perbankan untuk pembangunan PG Glenmore. Tentunya kita semua berharap bahwa PG Glenmore bisa berdiri dan menghasilkan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun bagi bapak perusahaannya yang sudah berdarah darah membiayainya.
Semoga industri gula dan petani tebu bisa merasakan manisnya keuntungan semanis rasa gula…
No comments:
Post a Comment